
Sudahkah Kita Memukul Anak Hari Ini?
Orang tua biasanya memiliki dua pilihan saat dihadapkan pada
kondisi tidak menyenangkan membersamai anak yaitu memukul atau memilih tidak
memukul, menghardik atau mendiamkan, mengabaikan atau menggertak. Umumnya
respon orang tua akan berada pada dua pilihan tersebut.
Pilihan yang diambil orang tua tentu dipengaruhi oleh
kecakapan dalam mengolah emosi. Melampiaskan emosi dengan memukul anak atau
memilih tidak perlu memukul anak karena telah mampu mengenal emosi negatif dan
anak telah mudah mengikuti arahan dan petunjuk orang tua.
Pilihan yang masih menjadi potret pada pengasuhan kita hari
ini adalah memukul. Pukul memukul adalah cara singkat dalam membentuk perilaku
anak. Level pengasuhan kita masih berada pada posisi ini. Tentu dengan beragam
faktor termasuk hantaman pandemi.
Apa pembenaran yang sering jadi acuan bagi mereka yang mudah
mengambil kebijakan pukul memukul ini? Ada hadits Nabi yang sering kali
dijadikan argumentasi yaitu “pukul anakmu ketika tidak mau salat dalam usia 10
tahun”. Teks ini dipoles dan dikuatkan agar bisa menjadi pengontrol kebenaran
atas pilihan memukul anak.
Pikiran itu kerdil atas kedangkalan berpikir. Teks tersebut
harus diikuti dengan adab sebagai bagian dari rangkaian tarbiah, bukan semata
menjadi respon gagal kontrol emosi orang tua atas kondisi eksternal yang
menyebabkan kondisi stres pengasuhan.
Praktik perilaku beradab Rasulullah dalam mengasuh anak akan
lebih banyak bisa kita temukan seperti memberi maaf, mencoba memahami dan
menerima anak dengan tulus, memilih kata yang baik dan sesuai, mendoakan
kebaikan, melempar senyuman, melekatkan nama baik, membungkukkan atau
mensejajarkan tubuh saat berbincang dengan anak kecil, dan masih banyak
lembaran yang masih bisa kita temukan betapa agungnya Rasulullah memuliakan anak.
Temukan bagaimana Rasulullah memberi pondasi dalam praktik berniat agar bisa
memperoleh keturanan saleh/salehah hingga SOP bila memang harus memukul, diatur
dengan mendetail.
Lantas kita memilih jalan yang mana? Kamu memilih gagal
kontrol emosi yang menyesatkan atau memilih berlindung pada praktik pengasuhan
yang penuh dengan adab dari Rasul? Semoga Allah memuliakan kita dengan perilaku
adab dalam membersamai anak-anak kita.
Memang mudah memilih memukul, karena itulah cara singkat.
Tapi akan mudah dipahami bahwa bila kita bertindak kasar dan keras, maka anak
akan menjauh dan sulit menjadi penurut, kecuali ia merasa terpaksa karena
merasa takut.
Namun, bila sudah telanjur memilih cara-cara memukul yang
tidak beradab, akan baik bila kita memohon ampun, segera.
Memukul akan meninggalkan bekas luka di mental anak.
Pernahkah respon memukul tidak diiringi dengan amarah dan umpatan kepada anak?
rasanya sulit. Tangan memukul atau kaki menendang biasanya akan diikuti dengan
cacian yang merendahkan anak. Emosi negatif itu menjadi gumpalan emosi negatif
melekat pada diri anak sebagai bagian dari pembelajaran untuk dilakukan lagi (pembalasan)
dikemudian hari pada orang lain atau menjadi tekanan hebat dari anak yang terus
berdialog merendahkan dirinya hingga berpengaruh kepada anti sosial bahkan bisa
menjadi perilaku patologis sosial.
Ketidakmampuan mengontrol emosi orang tua sebenarnya juga
akan menyisakan luka-luka emosi bagi orang tua. Saat momen merenung, akan
menyesali perbuatan kasar itu. Sepanjang dia masih “manusia”, maka keputusan
memukul akan menjadi penyesalan mendalam bagi orang tua!
“kebijakan memukul”
tidak baik untuk orang tua dan anak.
Luka apa yang lebih berat dari beban-beban psikologis anak
hanya karena ketidakmampuan orang tua mengontrol atau gagal bersabar? Sakit
psikis terlalu berat untuk momen tumbuh kembang anak. Perasaan sedih, takut,
merasa malu, penyesalan mendalam, menghardik diri, tidak percaya diri, dan
beragam reaksi emosi negatif lainnya akan berdampak terhadap konsep atau citra
diri anak saat momen pendewasaan.
Semoga saya dan kita mendapatkan perlindungan Allah dari
praktik memukul anak. Terlalu kerdil kita sebagai orang tua yang gagal kontrol
emosi namun berdampak pada anak yang harusnya menjadi generasi emas keluarga
kita.
Mari bersama menjaga jiwa sehat anak kita, tidak perlu kita
memilih beragam alasan untuk melukai jiwanya kecuali memang itu telah
dituliskan dalam syariat.
Bila telah telanjur, meminta maaf pada anak bukanlah
perbuatan rendah. Mulai perbaiki dan kembalikan fungsi psikologisnya, ganti
perasaan terpukulnya dengan kegiatan yang mampu menyehatkan jiwanya. Ajak
bermain dengan setulusnya tatapan dan selembutnya perkataan. Buat mereka bangga
telah hadir dan besar dilingkungan keluarga sendiri. Tambal duka dan lukanya
agar tidak menjadi beban yang berhari-hari, berpekan-pekan, berbulan-bulan,
hingga bertahun-tahun. Didik dengan penuh hikmah yang mengedepankan adab.
Masih mau memukul anak tanpa adab?