Blog

Dua Paras Paradigma Pengasuhan

Paradigma menjadi bagian terpenting dalam membentuk perilaku. Paradigmalah yang mendasari terbentuknya perilaku. Perilaku positif dan negatif akan bergantung kepada cara pandang terhadap objek tertentu. Prinsip ini juga berlaku dalam pengasuhan. Cara pandang atau word view orang tua akan memengaruhi upaya membersamai anak.

Setidaknya kita akan temukan dua word view yang menjadi potret pengasuhan yang telah dan sedang berkembang. Kita temukan paradigma kontemporer yang cenderung menggunakan cara pandang barat. Barat tidak hanya dipahami sebagai lokasi geografis namun juga sebagai paham. Kita akan coba elaborasi paham ini sebagai bagian dari komperasi dengan paradigma Islam. Islam tentu dipahami sebagai bagian integral yang mengedepankan Al-Quran dan hadits sebagai filosofisnya.

Pengasuhan yang menggunakan paradigma kontemporer memandang anak secara parsial. Setidaknya kita bisa melihat dalam beberapa tokoh yang mengusungnya, di antaranya Sigmund Freud yang meyakini bahwa insting dan libido yang menjadi penentu perilaku anak, Abraham Maslow menjelaskan bawa perilaku anak ditentukan oleh kebutuhan manusia, BF Skinner percaya bahwa anak tidak memiliki personality atau independent personality melainkan hanya perilaku anak. Ketiga pandangan tersebut menjadi yang paling pertama muncul sebagai paham dan masih digunakan oleh orang tua. Misalnya S. Freud melalui aliran psikoanalisanya meniscayakan orang tua memandang anak sebagai pesakitan, A. Maslow melalui aliran humanistiknya meniscayakan orang tua melakukan pemenuhan kebutuhan anak agar bisa menjadi anak baik, sedangkan BF Skinner melalui aliran behavioristiknya memandang anak sebagai kertas kosong dan orang tualah penguasa sepenuhnya terhadap anak.

Terdapat dua aliran lagi yang juga menjadi bagian dari paradigma kontemporer yaitu neuro sains dan kognitif. Neuro sains memandang otak (sebagai alat/organ) anaklah yang menjadi hakikat manusia. Kognitif meyakini bahwa hakikat manusia adalah pikirannya.

Dari penjelasan di atas, setidaknya kita bisa temukan bagaimana praktik kesehariannya. Terdapat garis lurus yang sama di antara ke lima aliran tersebut yaitu pengasuhan bebas nilai. Nilai, baik dan buruk, bukanlah soal yang harus diperhatikan. Baik dan buruk bisa dinegosiasikan berdasar pada budaya. Inilah kenapa pengasuhan dengan paradigma kontemporer ini sering dianggap sebagai bergaya friendly. Terkesan menarik tapi tidak baik.

Olehnya sebagai konsekuensinya cara pandang ini tidak meyakini jiwa (nafs) manusia atau akan tabu dalam berbicara Tuhan. Kalaupun ada maka dianggap hanya sebagai waham. Tuhan hanya dianggap sebagai ilusi sehingga mati dianggap adalah akhir dari segalanya. Pengasuhan yang hanya mengedepankan pemenuhan materialistik, berfokus pada body (tubuh) untuk kenikmatannya.

Lantas bagaimana Islam dijadikan sebagai paradigma dalam pengasuhan?

Cara pandang ini meniscayakan orang tua mengarusutamakan paradigma tauhid, yaitu Allah menciptakan anak sebagai khalifah atau pemimpin yang memiliki beragam atribut, namun di sisi lain harus memahami bahwa juga sebagai Abdullah atau hamba Allah. Anak tidak bisa lepas dari ketentuan Allah, jadi kedua posisi anak itu bukan pilihan tapi konsekuensi dari kehidupan karena telah dilahirkan di muka bumi ini. Penyadaran orang tua terhadap posisi anak tersebut membawa anak akan siap untuk kembali kepada Allah. Inilah paradigma kehidupan yang sejalan dengan sunnatullah, sejalan dengan maksud Allah menciptakan dan menurunkan anak sebagai ujian untuk menuju kemenangan hakiki di akhirat kelak.

Filosofis orang tua menggunakan maqasid, akar katanya adalah maksud. Sehingga segala sesuatu memiliki maksud/tujuan, apa pun yang dialami harus didalami agar mendapatkan hikmah (paham mendalam sehingga paham apa yang terjadi). Dibalik kesulitan ada kemudahan. Orang tua membiasakan anak berpikir agar dapat mendalami setiap kejadian.

Bagaimana caranya membiasakan anak berpikir?

Paradigma ini meniscayakan orang tua untuk membantu anak dalam mengungkap kebenaran sebagai hakikat atau inti kehidupan. Orang tua harus memenuhi kebutuhan berilmu anak. Menjadikan kitab dan alam sebagai sumber ilmu, paham akan tanda-tanda alam. Sebab ilmu merupakan jalan menuju Allah (mahrifat melalui kearifan atau keilmuan). Memastikan bahwa ilmu yang benar adalah mendekatkan dengan Allah.

Anak adalah multidimensional, tidak boleh dilihat sebagai parsial artinya harus memperhatikan semua. Orang tua seharusnya melihat jiwa manusia, kognitif, emosi, dan perilaku. Persoalan mental manusia sesuatu yang saling terkait.

Dimulai dari jiwa sebagai hakikat anak. Jiwa menjadi penyebab perilaku, bisa menjadi awal dan sekaligus akhir, bisa jadi sebab dan akibat perilaku. Nafs (jiwa) dianggap sebagai multidimensional namun dinamis, akan bertanggung jawab atas kehidupan sehingga memiliki kebebasan untuk memilih takwa atau fujur.

Prinsip dasar yang harus diarusutamakan dalam pengasuhan adalah belajar dari peristiwa nabi Adam. Proses kehidupan yang dialami oleh nabi Adam menjadi refleksi kehidupan orang tua dan anak dalam praktik pengasuhan. Beberapa prinsip di antaranya adalah mengajarkan anak berpengetahuan melalui nama-nama, kebebasan memilih atas godaan yang diterima dari syaitan, kesalahan atas pilihan yang diambil, namun kemudian bertobat kepada Allah, dan Allah mengampuni, setelah itu terdapat tantangan berupa perintah risalah/misi/tugas turun ke bumi, ditutup dengan hadirnya pedoman mengerjakan dan menjauhi perintah Allah di muka bumi. Prinsip ini merupakan siklus hidup dan akan terus sama atau tidak berubah.